Selasa, 05 Januari 2010

PENYULUH KB KALTIM HANYA 30 PERSEN

Samarinda, - Hingga kini jumlah tenaga penyuluh Keluarga Berencana (KB) di Kaltim hanya 30 persen, yakni dari 1.410 jumlah kelurahan dan desa yang ada, Kaltim baru memiliki 244 tenaga penyuluh lapangan.

”Sebelum 2004 jumlah penyuluh KB di Kaltim sebenernya sudah 100 persen, namun mulai 2004 jumlah penyuluh terus melorot dan hingga sekarang tinggal 30 persen,” kata Sekretaris Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Kaltim, Muhammad Hatta.

Dikatakan, menurunnya jumlah penyuluh KB, sejak dimulainya otonomi daerah bidang KB pada 2004 diserahkan kepada kabupaten dan kota masing-masing, sehingga provinsi tidak memiliki wewenang, namun peran lembaga KB di provinsi hanya sebatas koordinasi saja.

Kondisi tersebut, lanjutnya, berdampak pada terus menurunya pelaksanaan program KB di daerah-daerah, termasuk di lini lapangan sebagai tenaga penyuluh. Hal ini terjadi karena belum tertatanya kelembagaan program KB dengan benar seperti pada masa sebelum otonomi.

Padahal lanjutnya, jumlah dan sumber daya tenaga penyuluh sangat penting dalam upaya Indonesia menyuksekan program KB, karena penyuluh merupakan ujung tombak. Untuk itu ia berharap kepada masing-masing kabupaten dan kota agar melakukan perekrutan terhadap tenaga penyuluh.

Menurutnya, di Kaltim termasuk daerah yang memiliki pasangan usia subur cukup tinggi, karena salah satu faktornya adalah banyaknya pendatang dengan pasangan usia mudah, sehingga angka kelahiran juga berpotensi tinggi. Potensi kelahiran tinggi tesebut diperlukan penyuluh dalam menekan angka kelahiran.

Dikatakan, peran BKKBN bukan melarang pasangan keluarga untuk melahirkan, namun perannya justru lebih mengarah pada pengaturan dan jarak kelahiran. Pasalnya dengan jarak melahirkan yang teratur, banyak keuntungan yang didapat keluarga itu sendiri, baik secara perkembangan anak, ekonomi dan kesehatan sang ibu.

Jika jarak melahirkan terlalu dekat, yakni antara 1-3 tahun, banyak hal negatif yang bisa terjadi, antara lain anak berusia 1-3 tahun masih memerlukan perhatian ibu, jika si ibu harus mengurus bayinya, maka anak usia 1-3 tahun itu merasa tidak deperhatikan, hal itulah yang mempengaruhi perkembangan mental anak.

“Ibu yang melahirkan mengeluarkan darah cukup banyak, selain itu juga banyak saraf yang putus saat melahirkan. Saraf-saraf yang putus itu sendiri diperkirakan bisa pulih sekitar 4-5 tahun kemudian. Karena itu, sebaiknya jarak melahirkan adalah antara 4-5 tahun,” ujarnya.

Menurutnya, masalah kependudukan memiliki implikasi luas terhadap perubahan sosial di segala bidang, diantaranya pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, sandang, pangan, papan serta keamanan. “Jika tidak segera diatasi, maka berpengaruh pada stabilitas nasional,” ujarnya. ()

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar